Saturday, October 5, 2013

Membangun Karakter Mhs Berbasis Psikosufistik


Oleh
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. M.Si
Guru Besar Psikologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Blog: psikologiislam-mujib.blogspot.com   Email: abdulmujibdr@yahoo.co.id

Urgensi Pendekatan Psiko-sufistik dalam Mengkonstruk Teori Karakter

Paling tidak ada tiga ilustrasi yang dapat ditampilkan untuk menunjukkan betapa pentingnya membangun teori karakterberbasis Psiko-sufistik bagi umat Islam. Ilustrasi pertamatentang interpretasi psikologis yang bias budaya. Ketika penulis mengisi salah satu seminar nasional di suatu Perguruan Tinggi Negeri ternama, seorang mahasiswi bertanya kepada penulis perihal karakternya yang diklaim dosennya sebagai karakter yang buruk. Di ruang kelas, ia disuruh dosennya menggambar tubuhnya sendiri. Ia pun menggambar dirinya yang mana gambar dirinya itu sebagaimana yang biasa ia tampilkan. Sebagai seorang muslimah yang taat agama, ia selalu mengenakan jilbab, dan karenanya, gambar dirinya pun berjilbab. Setelah gambar diperiksa oleh sang dosen, dengan nada tak berdosa, dosen memberi nilai 4, itupun dengan tinta merah. Mahasiswi yang diberi nilai komplin dan bertanya: ”Kenapa nilai gambar saya 4, itupun dengan tinta merah?” Dosen berujar: ”Dengan gambar anda ini, menunjukkan diri anda dungu yang tidak mau mendengar kritik atau masukan dari orang lain.” Interpretasi itu berdasarkan gambar wajah sang mahasiswi yang tidak memperlihatkan telingah, karena ditutup oleh jilbab. Peristiwa ini tentu menyebabkan sakit hati sang mahasiswi. Dalam hatinya ia bertanya, apakah semua aktualisasi ajaran agama itu berdampak negatif bagi karakternya? Bukankah agama disuguhkan oleh Allah agar hamba-Nya berkarakter baik? Bukankah berjilbab itu menjadi self-image dan self-esteem bagi kaum muslimah yang ideal (QS. Al-Ahzab:59)? Lalu mengapa penilaian terhadap dirinya menjadi buruk?.
Ilustrasi kedua berasal dari buku Test Personaliti (Yul Iskandar, 2002). Pada bagian ketiga buku tersebut terdapat test kejujuran. Yang paling menarik pada uraian buku ini adalah tentang normanya, yang mana nilai sangat tinggi terhadap kejujuran dianggap sebagai perilaku yang sangat membahayakan. Keterusterangan membuat orang lain tidak senang dan dianggap kurang menghormati norma-norma masyarakat. Bahkan buku ini merekomendasikan agar sekali-kali berkata tidak benar dan menutupi hal-hal tertentu. Nilai tinggi dianggap merusak diri sendiri. Nilai rata-rata yang sekali-kali berbohong dianggap bijaksana.
Norma seperti itu, secara ilmiah, tidak salah karena diambil dari rata-rata karakter kejujuran masyarakat Indonesia, yang cenderung korup dan berbohong. Tetapi yang tidak habis pikir, kenapa ketidakjujuran itu menjadi personaliti yang disarankan oleh psikolog? Kenapa pula orang yang jujur terisolir dan tidak diberi peran yang seharusnya baik untuknya? Apakah model ’psikologi bohong’ ini tetap dilestarikan, khususnya untuk umat Islam? Bukankah Islam mengajarkan untuk berkata sejujurnya (al-haqq), walaupun pahit rasanya (Lihat QS. Al-Baqarah:177; Ali Imran:17; al-Maidah:119; al-Taubah:119; al-Ahzab:8,23-24,35; al-Zumar:33; Muhammad:21; dan al-Hujurat:15) ? Bukankah Nabi Muhammad (sebagai suri tauladan) Saw disegani oleh kawan dan lawan karena al-amîn-nya (dapat dipercaya),  bahkan salah satu sifat beliau adalah al-shiddiq (jujur)?
Ilustrasi ketiga tentang konsep diri santri yang diteliti oleh salah itu mahasiswa pascasarjana di Perguruan Tinggi Negeri ternama. Dalam kesimpulannya ia menyatakan bahwa konsep diri santri itu rendah diri, minder dan inferior. Kesimpulan ini didapat karena ia menggunakan teori konsep diri dari psikologi Barat. Dengan teori itu, ia gunakan untuk melihat perilaku santri yang dalam kesehariannya menggunakan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai rujukan perilakunya. Tentunya saja perilaku santri yang jika berjalan menundukkan kepalanya dianggapnya sebagai suatu sikap yang minder dan inferior, sementara santri sendiri menganggapnya sebagai perilaku tawadhu’, karena dalam berjalan tidak boleh sombong. (Perhatikan QS. Al-Isra:37; Luqman:18)
Berdasarkan kasus ini, konsep atau teori karakter Islam harus segera tampil untuk menjadi acuan normatif bagi umat Islam. Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori karakter Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam melihat realita. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang menghormati tradisi (perilaku yang ma’rûf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan agama yang baik (khayr).

Paradigma Psiko-Sufistik dalam Mengkonstruk Teori Karakter

Untuk diakui sebagai disiplin ilmu, membangun teorikarakterberbasis Psiko-sufistik akan menghadapi problem metodologis yang rumit. Hal itu terjadi sebab karakter dalam Psikosufistik berada di dua persimpangan jalan yang harus dilalui. Persimpangan pertama harus melalui prinsip-prinsip ilmiah modern, sementara persimpangan kedua harus melalui nilai-nilai doktriner dalam Islam ala sufistik. Pada aspek tertentu kedua persimpangan itu mudah dilalui secara simultan, namun pada aspek yang lain justru bertabrakan yang salah satunya tidak mau dikalahkan.
Betapapun sulit dan bahkan akan mengalami proses pendangkalan dan klaim tergesah-gesah, upaya membangun konsep karakter dalam psikosufistik tidak dapat ditundah-tunda lagi. Dalam perkembangan teori Psikologi Islam, setidaknya terdapat tiga pendekatan dalam mengkaji apapun, termasuk karakter; yaitu pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis, dan pendekatan sufistik (disebut juga tashawwufi). Ketiga pendekatan ini didasarkan atas tiga acuan, yaitu wahyu (bayânî), akal (burhânî), dan intuisi (’irfânî) (S.H. Nasr dan Oliver Leaman, 1996). Ketiga acuan tersebut digunakan secara silmultan, walaupun salah satu di antaranya ada yang lebih dominan. Pendekatan skriptualis lebih mengutamakan wahyu, pendekatan falsafi lebih mengutamakan akal, dan pendekatan sufistik atau tasawwufi lebih mengutamakan intuisi. Dalam terminologi ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis identik dengan aliran manqûl, pendekatan falsafi identik dengan aliran ma’qûl, sedang pendekatan sufistik identik dengan aliran itsârî(Mujib & Mudzakkir, 2002).
Pendekatan skriptualis adalah pendekatan pengkajian kepribadian Islam yang didasarkan atas teks-teks al-Qur’an ataupun hadis secara literal. Lafal-lafal yang terkandung di dalam al-Qur’an maupun hadis petunjuknya (dilâlah) sudah dianggap jelas (sharîh)dan tidak diperlukan lagi penjelasan di luar ayat atau hadis tersebut. Asumsi filosofisnya adalah bahwa Allah Swt menciptakan nafs manusia, dan Dia pula yang menciptakan hukum-hukum perilakunya. Hukum-hukum itu tak sedikitpun terlupakan dalam firman-Nya, sehingga penggalian hukum-hukum itu cukup dengan mempelajari firman-Nya. Pendekatan ini menghasilkan psikolog-skriptualis.
Pendekatan falsafi adalah pendekatan pengkajian kepribadian Islam yang didasarkan atas prosedur berfikir spekulatif. Prosedur yang dimaksud mencakup berpikir yang sistemik, radikal, dan universal, yang ditopang oleh kekuatan akal sehat. Pendekatan falsafi ini tidak berarti meninggalkan nash, melainkan tetap berpegang teguh kepada nash, hanya saja cara memahaminya dengan mengambil makna esensial yang terkandung di dalamnya. Akal yang sehat sesungguhnya berasal dari Allah Swt., demikian juga nash berasal dari-Nya. Karena itu, tidak akan bertentangan antara nash dengan akal yang sehat. Jika terjadi perbedaan antara nash dengan akal sehat, boleh jadi disebabkan oleh akal belum mampu menangkap pesan esensial nash, atau diperlukan interpretasi filosofis (ta`wîl) terhadap lafal dalam nash.Pendekatan ini menghasilkan psikolog-falsafi.
Pendekatan sufistik atau tashawwufî, yaitu pendekatan pengkajian kepribadian Islam yang didasarkan pada prosedur intuitif (al-hadsiyyah), ilham dan cita-rasa (al-dzawqiyyah). Prosedur yang dimaksud dilakukan dengan cara menajamkan struktur qalbu melalui proses penyucian diri (tazkiyat al-nafs). Cara itu dapat membuka tabir (hijâb) yang menjadi penghalang antara ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, sehingga mereka memperoleh ketersingkapan (al-kasyf) dan mampu mengungkap hakekat jiwa yang sesungguhnya. Pendekatan ini menghasilkan psikolog-sufistik atau psikolog-tashawwufi.

Karakter dalam Psiko-sufistik

Dalam wacana psikologi, terdapat dua istilah yang digunakan untuk menjelaskan perilaku; yaitu personality dan character. Dua istilah ini sama-sama membicarakan perilaku manusia, hanya saja personality tidak mengaitkan pembahasannya pada baik-buruk (devaluasi), sementara aksentuasi character justru pada penilaian baik-buruk (evaluasi) (Allport dalam Sumadi, 1990). Sebagai bagian dari sains yang salah satu cirinya ‘bebas nilai’, wacana psikologi lebih menggunakan term personality (bukan character), sehingga tugas utama psikolog adalah mendeskripsikan perilaku klien, tanpa berusaha menilai baik-buruknya. Bersamaan kebutuhan akan pengembangan ilmu dan bersentuhan dengan nilai-nilai agama dan tradisi, ilmu psikologi mulai memperluas medan kajiannya, sehingga akhir-akhir ini berkembang wacana psikologi bermuatan nilai seperti munculnya positive psychology, yang teorinya dibangun dari asumsi manusia baik.
Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik, kata syakhshiyyah (personality) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa alasan mengapa hal itu terjadi: (1) dalam al-Qur’an maupun Hadis tidak ditemukan term syakhshiyyah, kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhsy yang berarti person, bukan personality; (2) dalam khazanah Islam klasik, para filosof maupun sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlaq. Penggunaan istilah ini karena ditopang oleh ayat al-Qur’an dan Hadis Rasul; (3) hakekat syakhshiyyah tidak dapat mengkaver nilai-nilai fundamental Islam dalam mengungkap perilaku manusia, karena Islam bermuatan nilai, sementara syakhshiyyah tidak melibatkan penilaian baik buruknya. Islam justru menggunakan kata akhlak (bentuk jamak dari kata khuluq) yang identik dengan character.
Dalam kaitan akhlak, Al-Ghazali -sebagai tokoh Psikosufistik- mengemukakan dua citra manusia. Citra lahiriah manusia dise­but dengan khalq, dan citra batiniahnya yang disebut dengan khuluq (al-Ghazalî, tt). Khalq merupakan citra pisik manusia, sedang khuluq merupakan citra psikisnya. Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khuluq adalah "suatu kondisi (hay`ah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah), dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu." Sedangkan Ibnu Maskawaih mendefinisikan khuluq dengan "suatu kondisi (hâl) jiwa (nafs) yang menyebabkan suatu aktivitas dengan tanpa dipikirkan atau dipertimbangkan terlebih dahulu (Ibn Maskawaih, 1994).
Al-Jurjawi(1988) mengemukakan bahwa akhlak itu hanya mencakup kondisi batiniah (inner), bukan kondisi lahiriah. Misalnya, orang yang memi­liki karakter pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya untuk kepentingan riya', boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki karakter dermawan bisa jadi ia menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan kemashlahatan.
Manshur Ali Rajab (1961) memberi batasan akhlak dengan al-thab’u dan al-sajiyah. Maksud thab’u (natural disposition) adalah citra batin manusia yang menetap (al-sukûn) yang terdapat pada al-jibillah(konstitusi)-nya yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan (‘âdah) manusia yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivi­tas-aktivitas yang diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.Definisi terakhir inilah yang lebih lengkap, karena khuluq mencakup kondisi lahir dan batin manusia.
Term khulq selain diungkap dua kali dalam Al-Qur`an (QS. al-Qalam:4; al-Syu'ara:137), juga merupakan term "akhlak" yang digunakan Nabi Muhammad untuk menjelaskan misi kerasulannya: "Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik bin Anas dari Anas bin Malik). Dalam psikologi Islam, istilah akhlak sesungguhnya identik dengan syakhshiyyah Islamiyyah, yang sama-sama memiliki arti karakter, karena istilah apapun yang disandingkan dengan Islam maka akan terikat oleh nilai baik-buruk.

Bentuk Karakter dalam Psiko-sufistik

Desain karakter Psikosufistik Islam dapat diturunkan dari tiga pola; yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak dalam trilogi ajaran Islam, dan tidak mencakup domain akidah dan syariah (ibadah-muamalah); (2) diturunkan dari keselurusan domain dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan akhlak/ihsan; (3) diturunkan dari perilaku yang memiliki kemiripan, yang serupa tapi tak sama.
Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni bagian esoteris dari komponen ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa komponen Islam yang terdiri atas akidah (keimanan), syariah (ibadah dan mu’amalah) dan akhlak (etika). Pola ini tidak melibatkan akidah dan syariah sebagai konstruks dalam karakter, namun hanya akhlak saja. Akhlak merupakan permulaan tasawwuf, sedang tasawuf merupakan puncak akhlak. Melalui pola ini, bentuk-bentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu:
  1. Karakter terpuji (akhlaq mahmudah). Bentuk karakter ini seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur (sidq), dermawan (jud), amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya. 
  2. Karakter tercela (akhlaq madzmumah). Bentuk karakter ini seperti gampang marah (ghadhab), kufur nikmat, riya’, rakus (thama’),sombong (takabur), dusta (kidb), pelit (syukh), khianat, dendam, dengki, dan sebagainya.
Dua karakter tersebut merupakan kebalikan atau lawan yang jelas, baik dilihat dari perilaku eksoteris maupun esoterisnya, seperti sabar versus marah, syukur versus kufur, ikhlash versus riya’, qana’ah versus thama’, tawadhu’ versus takabur, jujur versur dusta dan seterusnya. Karena perbedaan itu jelas maka model karakter ini mudah diukur.
Sebagai contoh penggunaan karakter sabar dalam penelitian, langkah-langkah operasional yang harus dilakukan adalah (1) penelusuran definisi konseptual yang digali dari al-Qur’an, Sunnah ataupun pendapat para ulama’, lalu disimpulkan dalam satu konstruks definisi yang jelas; (2) Penentuan definisi operasional untuk mempermudah pengukuran; (3) menentukan blue print yang memuat aspek/dimensi variabel dan indikatornya, berikut penentuan skala favorable atau unfavorable; (4) pembuatan kuesioner sesuai ketentuan yang berlaku.
Kedua, karakter diturunkan dari semua aspek dalam ajaran Islam, meliputi rukun iman (akidah), rukun islam (syariah) dan rukun ihsan (akhlak). Pola karakter ini integratif yang tidak membedakan antara perilaku eksoteris dan esoteris. Dengan pola ini tidak akan terjadi split personality, yang mana hatinya beriman kepada Allah Swt tetapi karakternya bertentangan dengan apa yang diperintahkan. Desainnya sebagai berikut (Mujib, 2006):
1.       Domain iman membentuk karakter mu’min, yang mencakup enam bentuk (rukun iman):
  1. Karakterrabbani/ilahi dengan indikatornya 99 al-asma al-huna. 
  2. Karaktermalaki dengan indikatornya sifat-sifat malaikat, atau 10 macam sesuai dengan nama dan tugas-tugas malaikat
  3. Karakterqur’ani dengan indikatornya nilai-nilai asasi dalam al-Qur’an
  4. Karakter rasuli dengan indikatornya empat sifat rasul, atau sesuai dengan mu’jizatnya
  5. Karakteryawm qiyamah dengan indikatornya implikasi keimanan terhadap hari kiamat. 
  6. Karakter taqdiri dengan indikatornya ketentuan dan aturan terhadap taqdir anfusi, kauni, dan qur’ani.
2.       Domain islam membentuk karakter muslim, yang mencakup lima bentuk (rukun islam) (Mujib, 2006):
  1. Karakter musyahadatain dengan indikatornya implikasi kesaksian syadahat kepada Allah dan syahadat rasul. 
  2. Karakter mushalli dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari shalat. 
  3. Karakter shaim dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari puasa. 
  4. Karakter muzakki dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari zakat. 
  5. Karakter hajji dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari haji.
3.       Domain ihsan membentuk karakter muhsin, yang mencakup multi bentuk (rukun ihsan) (Mujib, 2006 dan Ibn Qayyim, 1992, Mahmud, tt):
  1. Tingkatan permulaan (bidâyah), meliputi kesadaran (al-yaqzhah), taubat (al-tawbah), introspekti (al-muhâsabah), kembali ke jalan Allah (al-inâbah), berfikir (al-tafakkur), berzikir (al-tadzakkur), menjaga diri (al-i’tishâm), lari dari keburukan menuju ke jalan Allah (al-firâr), latihan spiritual (al-riyâdhah), dan mendengar dengan suara hati (al-sima’). 
  2. Tingkatan pintu-pintu masuk (abwâb), meliputi kesedihan (al-huzn), ketakutan (al-khawf), takut (al-isyfaq minhu), kekhusyuan (al-khusyû’), rendah diri di hadapan Allah (al-ikhbat), zuhud (al-zuhud), menjaga diri (al-warâ’), ketekunan (al-tabattul), harapan (al-rajâ`), dan kecintaan (al-raghbah). 
  3. Tingkatan pergaulan (mu’amalah), meliputi pemeliharaan diri (al-ri’âyah), menghadirkan hati kepada Allah (al-murâqabah), kehormatan (al-hurmah), ketulusan (al-ikhlâsh), pendidikan (al-tahdzib), kontinue (al-istiqamah), tawakkal (al-tawakkal), pelimpahan wewenang (al-tafwîdh), keterpercayaan (al-tsiqah) dan penyerahan (al-taslîm). 
  4. Tingkatan etika (akhlâq), meliputi sabar (al-shabr), rela (al-ridhâ), berterima kasih (al-syukur), malu (al-haya`), jujur (al-shidq), mementingkan orang lain (al-itsâr), kerendahan hati (al-tawadhu’) dan kejantanan (al-futuwah). 
  5. Tingkatan pokok (ushûl), meliputi tujuan (al-qashd), tekad (al-‘azm), hasrat (al-irâdah), sopan santun (al-adab), keyakinan (al-yaqîn), keintiman (al-`uns), mengingat (al-dzikr), butuh rahmat (al-faqr) dan merasa kaya materi (al-ghani) 
  6. Tingkatan terapi (adwiyah), meliputi baik (al-ihsân), ilmu (al-‘ilm), hikmah (al-hikmah), pandangan batin (al-bashir), firasat (al-firâsah), kehormatan (al-ta’zhîm), ilham (al-ilhâm), ketenangan (al-sakinah), ketentraman (al-thuma’ninah) dan cita-cita (al-himmah). 
  7. Tingkatan keadaan (ahwâl), meliputi cinta (al-mahabbah), cemburu (al-ghyrah), rindu (al-syawq), kegoncangan (al-qalq), haus (al-‘athasy), suka cita (al-wijd), keheranan (al-dahasy), kilat (al-barq) dan cita-rasa (al-dzawq). 
  8. Tingkatan kewalian (walâyah), meliputi sadar setelah memperhatikan (al-lahazhah), waktu (al-waqt), jernih (al-shafâ`), gembira (al-surûr), rahasia (al-sirr), nafas (al-nafs), keterasingan (al-ghurbah), tenggelam (al-gharq) dan kesanggupan hati (al-tamakkun). 
  9. Tingkatan hakekat (haqâ`iq), meliputi ketersingkapan (al-mukâsyafah), penyaksian (al-musyâhadah), keterlihatan (al-mu’âyanah), hidup (al-hayah), ketergengaman (al-qabdh), keterbentangan (al-basth), mabuk (al-sukr), lupa (al-shahw), ketersambungan (al-ittishâl), dan keterpisahan (al-infishâl). 
  10. Tingkatan puncak (nihâyah), meliputi pengetahuan yang gaib (al-ma’rifah), peniadaan materi (al-fanâ`), penetapan ruhani (al-baqâ`), pembuktian (al-tahqîq), mendapatkan eksistensi (al-wujûd), pengosongan (al-tajrid), ketersendirian (al-tafrîd), penyatuan (al-jam’u) dan pentauhidan (al-tawhîd).
Ketiga, karakter diturunkan dari kemiripan perilaku nafs muthma’innah dan nafs ammarah. Dilihat dari perilaku eksoterisnya, dua nafs ini mirip dan sulit dibedakan, bahkan kalau dilakukan pengukuran hampir tiada beda. Perbedaan baik-buruk dalam pengukuran justru terlihat pada niat atau perilaku esoterisnya yang sulit diukur. Contoh karakter memberi hadiah versus menyuap, kedua karakter ini perilaku eksoterisnya sama walaupun perilaku soterisnya berbeda. Hal itu berbeda dengan pengukuran seperti karakter jujur (shidq) yang jelas-jelas berbeda dengan dusta (kidb).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah (1992) dalam “Kitab al-Ruh” menjelaskan sekitar 50 karakter yang memiliki kemiripan, walaupun nilainya berbeda. Di antara karakter itu adalah:

Tabel : Perbedaan nafs Muthmainnah dan nafs Ammarah
No
Nafs Muthma’innah
Nafs Ammarah
1
Rendah hati (tawadhu’)
Menghinakan diri (muhanah)
2
Dermawan (judd)
Boros (isyraf)
3
Kewibawaan (mahabah)
Sombong (kibr)
4
Berani (syaja’ah)
Nekat (jar’ah)
5
Hemat (iqtishad)
Pelit (syukhkh)
6
Waspada (ihtiraz)
Buruk sangka (su’u zhan)
7
Firasat (firasah)
Prasangka (zhann)
8
Hadiah (hadiah)
Suap (riswah)
9
Memaafkan (‘afw)
Menghinakan (dzull)
10
Pengharapan (raja’)
Angan-angan (tamanni)
11
Menceritakan nikmat (tahadus)
Membangga-banggakan (tafakhur)
12
Lembut hati (riqqah al-qalb)
Mengeluh (jaz’u)
13
Hati-hati (ikhtiyat)
Bimbang (waswas)
14
Nasehat (nasihah)
Cercaan (ta’nib)
15
Bersegerah (mubadarah)
Terburu-buru (ijlah)
16
Dll.
Dll.

Mendesaian Karakter Mahasiswa Pendekatan Psiko-sufistik

Urgensi desain karakter mahasiswa ini adalah agar mahasiswa dapat menyelesaikan proses kuliah dengan sukses, yang tidak saja memperoleh ilmu tetapi juga perilaku (amal) yang yang santun. Paduan dua hal ini akan membawa hidupnya bahagia di dunia dan akhirat. Karakter mahasiswa setidak-tidaknya meliputi tiga dimensi, yaitu personal-religius, sosial-religius dan profesional-religius. Term riligius menyertai seluruh dimensi karakter karena sumber utama karakter berasal dari agama, terutama dari ajaran tasawuf, meskipun tidak mengabaikan karakter yang bersumber dari tradisi masyarakat. Tiga dimensi karakter mahasiswa itu harus dijalankan dengan pendekatan sistem. Artinya, efektifitas dimensi karakter satu sangat tergantung pada pelaksanaan dimensi karakter yang lain.
Karakter personal-religius adalah karakter yang menyangkut kualitas perilaku individu sebagai mahluk individual. Bentuk-bentuk karakter ini adalah sabar (dapat mengendalikan diri); syukur (mudah berterima kasih); ridha (rela apa yang diperoleh); tawadhu’ (rendah diri dan tidak arogan); qana’ah (menerima kenyataan); tawakkal (menyerahkan diri); zuhud (tidak meterialis); wara’ (menghindarkan diri dari yang syubhat atau haram); raja’ (optimisme); al-haya’ (malu berbuat jelek); shidq (jujur); ikhlas (tanpa pamrih dan penuh dedikasi); itsar (menanggalkan egoisme); istiqamah (kontinue); husn al-dzan (positive thingking), dan fathanah (memiliki visi yang cerdas).
Karakter sosial-religius adalah karakter yang menyangkut kualitas perilaku individu sebagai mahluk sosial yang berfungsi dalam interaksi dan komunikasi interpersonal. Bentuk-bentuk karakter ini adalah amanah (terpercaya dan tanggungjawab,); tabligh (transparan dan akuntabilitas); musyawarah; keadilan; ukhuwah (egaliter); ta’awun (kerja sama); tawazun (perimbangan); tasamukh (teleran), takaful (saling menanggung), dan penyesuaian diri yang baik, sehingga dirinya tidak merasa teralienasi di lingkungan kerjanya. Penyesuaian diri mengandung arti menahanan ego dan intres pribadi menuju pada kepaduan, loyalitas, partisipasi dan identifikasi, sehingga tercapai kemashlahatan bersama (QS. al-Nisa’:32 dan al-Hujurat:10)
Karakter profesional-religius adalah karakter yang menyangkut kualitas perilaku individu sebagai mahluk profesional yang ditekuni, yang dalam konteks ini sebagai mahasiswa. Bentuk-bentuk karakter ini mengikuti prinsip 3-M, yaitu: Mutjahid (kreatif, produktif, responsif dan dinamik); Mujaddid (modernis dan refomis); dan Mujahid (daya juang yang tinggi dalam bekerja).

Sebagai penutup, pada kesempatan ini saya ingin mengajukan rekomendasi, yang dimaskud adalah pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi tidak semata-mata pada domain kognitif, yang dapat mencerdasarkan intelektual mahasiswa semata, tetapi juga dibarengi dengan pengembangan kurikulum yang berbasis domain afektif dan psikomatorik, yang karenanya melahirkan kecerdasan emosional, sosial, dan kinestetik. Walaupun demikian tidaklah cukup. Sebagai Perguruan Tinggi yang unggul dalam pengembangan daya intuisi dan tradisi tasawuf, tidak ada salahnya jika pengembangan kurikulumnya disertakan domain dzawqiyah, yang mampu mengasah dan mengembangkan cita rasa keagamaan, spiritual dan ketuhanan. Tentu saja kegiatan rutin (wadaif) seperti zikir, wirid, istighasah, muhasabah dan sebagainya merupakan bagian penting dalam pengembangan diri mahasiswa, karena dengan demikian, semua potensi diri dapat teraktualkan dengan baik.


Daftar Rujukan

Al-Maktabah al-Syamilah, versi 28 Gb
Amin, Ahmad, al-Akhlaq, Cairo: Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1929
Al-Ghazalî, Abu Hamid Muhammad, Ihyâ` Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Hanafî, Abu Su’ud ibn Muhammad ’Imad, Tafsir Abî Sa’ud, Riyadh: Maktabah Riyadh, tt
Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlâq", Bandung: Mizan, 1994
Ibnu Qayyim al-Jawziyy­at, Syams al-Din  ibn ‘Abd Allah, Madarij al-Salikin bayn Manazil Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Cairo: Dar al-Fikr, 1992
-----, al-Rûh fî al-Kalâm ‘alâ Arwâh al-Amwât wa al-Ahyâ` bi al-Dalâ`il min al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âtsâr wa  Aqwâl  al-’Ulamâ`, Beirût: Dâr al-Fikr, 1992
Iskandar, Yul, Test Personaliti, Jakarta: Yayasan Dharma Graha, 2002, h.58-70
Al-Jurjawî, Syarif Ali, Kitâb al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyat, 1988
Mahmud, Abd al-Qadir, al-Falsafah al-Shufiyah fi al-Islam; Mashadiruha wa Nazhriyatuha wa Makanatuha min al-Dîn wa al-Hayah, Arab: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2002, h. 22-33
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam, Jakarta: Darul Falah, 1999
-----,Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2006
Nasr, S.H. dan Oliver Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy, London:Routledge, l996, h. 644
Rajab, Manshur Ali, Ta'ammulât fî Falsafat al-Akhlâq, Mesir: Maktabat al-Anjalû al-Mishr, 1961
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, Jakarta: Rajawali, 1990
Zarqânî, Sayid Muhammad, Syarkh al-Zarqânî ‘ala Muwaththa' al-Imâm Mâlik, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.

No comments:

Post a Comment