Oleh
Prof. Dr. Abdul
Mujib, M.Ag. M.Si
Guru Besar
Psikologi Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Blog:
psikologiislam-mujib.blogspot.com
Email: abdulmujibdr@yahoo.co.id
Urgensi Pendekatan Psiko-sufistik dalam Mengkonstruk Teori Karakter
Paling
tidak ada tiga ilustrasi yang dapat ditampilkan untuk menunjukkan betapa
pentingnya membangun teori karakterberbasis Psiko-sufistik bagi umat Islam. Ilustrasi pertamatentang
interpretasi psikologis yang bias budaya. Ketika penulis mengisi salah satu
seminar nasional di suatu Perguruan Tinggi Negeri ternama, seorang mahasiswi
bertanya kepada penulis perihal karakternya yang diklaim dosennya sebagai karakter
yang buruk. Di ruang kelas, ia
disuruh dosennya menggambar tubuhnya sendiri. Ia pun menggambar dirinya yang
mana gambar dirinya itu sebagaimana yang biasa ia tampilkan. Sebagai seorang
muslimah yang taat agama, ia selalu mengenakan jilbab, dan karenanya, gambar
dirinya pun berjilbab. Setelah gambar diperiksa oleh sang dosen, dengan nada
tak berdosa, dosen memberi nilai 4, itupun dengan tinta merah. Mahasiswi yang
diberi nilai komplin dan bertanya: ”Kenapa nilai gambar saya 4, itupun dengan
tinta merah?” Dosen berujar: ”Dengan gambar anda ini, menunjukkan diri anda
dungu yang tidak mau mendengar kritik atau masukan dari orang lain.”
Interpretasi itu berdasarkan gambar wajah sang mahasiswi yang tidak
memperlihatkan telingah, karena ditutup oleh jilbab. Peristiwa ini tentu
menyebabkan sakit hati sang mahasiswi. Dalam hatinya ia bertanya, apakah semua
aktualisasi ajaran agama itu berdampak negatif bagi karakternya? Bukankah agama
disuguhkan oleh Allah agar hamba-Nya berkarakter baik? Bukankah berjilbab itu
menjadi self-image dan self-esteem bagi kaum muslimah yang ideal
(QS. Al-Ahzab:59)? Lalu mengapa penilaian terhadap dirinya menjadi buruk?.
Ilustrasi kedua berasal dari buku Test
Personaliti (Yul Iskandar, 2002). Pada bagian ketiga buku tersebut terdapat
test kejujuran. Yang paling menarik pada uraian buku ini adalah tentang
normanya, yang mana nilai sangat tinggi terhadap kejujuran dianggap
sebagai perilaku yang sangat membahayakan. Keterusterangan membuat orang lain
tidak senang dan dianggap kurang menghormati norma-norma masyarakat. Bahkan
buku ini merekomendasikan agar sekali-kali berkata tidak benar dan menutupi
hal-hal tertentu. Nilai tinggi dianggap merusak diri sendiri. Nilai rata-rata
yang sekali-kali berbohong dianggap bijaksana.
Norma seperti itu, secara ilmiah, tidak
salah karena diambil dari rata-rata karakter kejujuran masyarakat Indonesia,
yang cenderung korup dan berbohong. Tetapi yang tidak habis pikir, kenapa
ketidakjujuran itu menjadi personaliti yang disarankan oleh psikolog? Kenapa
pula orang yang jujur terisolir dan tidak diberi peran yang seharusnya baik
untuknya? Apakah model ’psikologi bohong’ ini tetap dilestarikan, khususnya
untuk umat Islam? Bukankah Islam mengajarkan untuk berkata sejujurnya (al-haqq),
walaupun pahit rasanya (Lihat QS. Al-Baqarah:177; Ali Imran:17; al-Maidah:119;
al-Taubah:119; al-Ahzab:8,23-24,35; al-Zumar:33; Muhammad:21; dan
al-Hujurat:15) ? Bukankah Nabi Muhammad (sebagai suri tauladan) Saw disegani
oleh kawan dan lawan karena al-amîn-nya (dapat dipercaya), bahkan salah satu sifat beliau adalah
al-shiddiq (jujur)?
Ilustrasi ketiga tentang konsep diri
santri yang diteliti oleh salah itu mahasiswa pascasarjana di Perguruan Tinggi
Negeri ternama. Dalam kesimpulannya ia menyatakan bahwa konsep diri santri itu
rendah diri, minder dan inferior. Kesimpulan ini didapat karena ia menggunakan
teori konsep diri dari psikologi Barat. Dengan teori itu, ia gunakan untuk
melihat perilaku santri yang dalam kesehariannya menggunakan ajaran al-Qur’an
dan al-Sunnah sebagai rujukan perilakunya. Tentunya saja perilaku santri yang
jika berjalan menundukkan kepalanya dianggapnya sebagai suatu sikap yang minder
dan inferior, sementara santri sendiri menganggapnya sebagai perilaku tawadhu’,
karena dalam berjalan tidak boleh sombong. (Perhatikan QS. Al-Isra:37;
Luqman:18)
Berdasarkan kasus ini, konsep atau teori karakter
Islam harus segera tampil untuk menjadi acuan normatif bagi umat Islam.
Perilaku umat Islam tidak sepatutnya dinilai dengan kacamata teori karakter
Barat yang sekuler, karena keduanya memiliki frame yang berbeda dalam
melihat realita. Perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai
baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Agama memang
menghormati tradisi (perilaku yang ma’rûf), tetapi lebih mengutamakan
tuntunan agama yang baik (khayr).
Paradigma Psiko-Sufistik dalam Mengkonstruk Teori
Karakter
Untuk diakui sebagai disiplin ilmu,
membangun teorikarakterberbasis Psiko-sufistik akan menghadapi problem
metodologis yang rumit. Hal itu terjadi sebab karakter dalam Psikosufistik berada
di dua persimpangan jalan yang harus dilalui. Persimpangan pertama harus
melalui prinsip-prinsip ilmiah modern, sementara persimpangan kedua harus melalui
nilai-nilai doktriner dalam Islam ala sufistik. Pada aspek tertentu kedua
persimpangan itu mudah dilalui secara simultan, namun pada aspek yang lain
justru bertabrakan yang salah satunya tidak mau dikalahkan.
Betapapun sulit dan bahkan akan mengalami
proses pendangkalan dan klaim tergesah-gesah, upaya membangun konsep karakter
dalam psikosufistik tidak dapat ditundah-tunda lagi. Dalam perkembangan teori
Psikologi Islam, setidaknya terdapat tiga pendekatan dalam mengkaji apapun,
termasuk karakter; yaitu pendekatan skriptualis, pendekatan filosofis, dan
pendekatan sufistik (disebut juga tashawwufi). Ketiga pendekatan ini didasarkan
atas tiga acuan, yaitu wahyu (bayânî), akal (burhânî), dan
intuisi (’irfânî) (S.H. Nasr dan Oliver
Leaman, 1996). Ketiga acuan tersebut digunakan secara silmultan,
walaupun salah satu di antaranya ada yang lebih dominan. Pendekatan skriptualis
lebih mengutamakan wahyu, pendekatan falsafi lebih mengutamakan akal, dan
pendekatan sufistik atau tasawwufi lebih mengutamakan intuisi. Dalam terminologi
ilmu Tafsir, pendekatan skriptualis identik dengan aliran manqûl, pendekatan
falsafi identik dengan aliran ma’qûl, sedang pendekatan sufistik identik
dengan aliran itsârî(Mujib & Mudzakkir, 2002).
Pendekatan skriptualis adalah
pendekatan pengkajian kepribadian Islam yang didasarkan atas teks-teks
al-Qur’an ataupun hadis secara literal. Lafal-lafal yang terkandung di dalam
al-Qur’an maupun hadis petunjuknya (dilâlah) sudah dianggap jelas (sharîh)dan
tidak diperlukan lagi penjelasan di luar ayat atau hadis tersebut. Asumsi
filosofisnya adalah bahwa Allah Swt menciptakan nafs manusia, dan Dia
pula yang menciptakan hukum-hukum perilakunya. Hukum-hukum itu tak sedikitpun
terlupakan dalam firman-Nya, sehingga penggalian hukum-hukum itu cukup dengan
mempelajari firman-Nya. Pendekatan ini menghasilkan psikolog-skriptualis.
Pendekatan falsafi adalah pendekatan pengkajian
kepribadian Islam yang didasarkan atas prosedur berfikir spekulatif. Prosedur
yang dimaksud mencakup berpikir yang sistemik, radikal, dan universal, yang
ditopang oleh kekuatan akal sehat. Pendekatan falsafi ini tidak berarti
meninggalkan nash, melainkan tetap berpegang teguh kepada nash, hanya saja cara
memahaminya dengan mengambil makna esensial yang terkandung di dalamnya. Akal
yang sehat sesungguhnya berasal dari Allah Swt., demikian juga nash berasal
dari-Nya. Karena itu, tidak akan bertentangan antara nash dengan akal yang
sehat. Jika terjadi perbedaan antara nash dengan akal sehat, boleh jadi
disebabkan oleh akal belum mampu menangkap pesan esensial nash, atau diperlukan
interpretasi filosofis (ta`wîl) terhadap lafal dalam nash.Pendekatan ini
menghasilkan psikolog-falsafi.
Pendekatan sufistik atau tashawwufî, yaitu
pendekatan pengkajian kepribadian Islam yang didasarkan pada prosedur intuitif
(al-hadsiyyah), ilham dan cita-rasa (al-dzawqiyyah). Prosedur
yang dimaksud dilakukan dengan cara menajamkan struktur qalbu melalui proses
penyucian diri (tazkiyat al-nafs). Cara itu dapat membuka tabir (hijâb)
yang menjadi penghalang antara ilmu-ilmu Allah dengan jiwa manusia, sehingga
mereka memperoleh ketersingkapan (al-kasyf) dan mampu mengungkap hakekat
jiwa yang sesungguhnya. Pendekatan ini menghasilkan psikolog-sufistik atau
psikolog-tashawwufi.
Karakter dalam
Psiko-sufistik
Dalam wacana psikologi, terdapat dua istilah yang digunakan untuk
menjelaskan perilaku; yaitu personality
dan character. Dua istilah ini sama-sama membicarakan perilaku manusia, hanya saja personality
tidak mengaitkan pembahasannya pada baik-buruk (devaluasi), sementara
aksentuasi character justru pada penilaian baik-buruk (evaluasi)
(Allport dalam Sumadi, 1990). Sebagai bagian dari sains yang salah satu cirinya
‘bebas nilai’, wacana psikologi lebih menggunakan term personality (bukan
character), sehingga tugas utama psikolog adalah mendeskripsikan perilaku
klien, tanpa berusaha menilai baik-buruknya. Bersamaan kebutuhan akan
pengembangan ilmu dan bersentuhan dengan nilai-nilai agama dan tradisi, ilmu psikologi
mulai memperluas medan kajiannya, sehingga akhir-akhir ini berkembang wacana
psikologi bermuatan nilai seperti munculnya positive psychology, yang
teorinya dibangun dari asumsi manusia baik.
Dalam literatur keislaman, terutama pada khazanah klasik, kata syakhshiyyah
(personality) kurang begitu dikenal. Terdapat beberapa alasan
mengapa hal itu terjadi: (1) dalam al-Qur’an maupun Hadis tidak ditemukan term syakhshiyyah,
kecuali dalam beberapa hadis disebutkan term syakhsy yang berarti person,
bukan personality; (2) dalam khazanah Islam klasik, para filosof maupun
sufi lebih akrab menggunakan istilah akhlaq. Penggunaan istilah ini
karena ditopang oleh ayat al-Qur’an dan Hadis Rasul; (3) hakekat syakhshiyyah
tidak dapat mengkaver nilai-nilai fundamental Islam dalam mengungkap perilaku
manusia, karena Islam bermuatan nilai, sementara syakhshiyyah tidak
melibatkan penilaian baik buruknya. Islam justru menggunakan kata akhlak (bentuk
jamak dari kata khuluq) yang
identik dengan character.
Dalam kaitan akhlak, Al-Ghazali -sebagai tokoh Psikosufistik- mengemukakan dua citra manusia. Citra
lahiriah manusia disebut dengan khalq, dan citra batiniahnya yang
disebut dengan khuluq (al-Ghazalî, tt). Khalq
merupakan citra pisik manusia, sedang khuluq merupakan citra psikisnya.
Al-Ghazali lebih lanjut menjelaskan bahwa khuluq adalah "suatu
kondisi (hay`ah) dalam jiwa (nafs) yang suci (rasikhah),
dan dari kondisi itu tumbuh suatu aktivitas yang mudah dan gampang tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan terlebih dahulu." Sedangkan Ibnu
Maskawaih mendefinisikan khuluq dengan "suatu kondisi (hâl)
jiwa (nafs) yang menyebabkan suatu aktivitas dengan tanpa dipikirkan
atau dipertimbangkan terlebih dahulu (Ibn Maskawaih, 1994).
Al-Jurjawi(1988) mengemukakan bahwa akhlak itu hanya
mencakup kondisi batiniah (inner), bukan kondisi lahiriah. Misalnya,
orang yang memiliki karakter pelit bisa juga ia banyak mengeluarkan uangnya
untuk kepentingan riya', boros, dan sombong. Sebaliknya, orang yang memiliki
karakter dermawan bisa jadi ia menahan mengeluarkan uangnya demi kebaikan dan
kemashlahatan.
Manshur Ali Rajab (1961) memberi batasan akhlak dengan al-thab’u dan al-sajiyah.
Maksud thab’u (natural
disposition) adalah citra batin manusia yang menetap (al-sukûn) yang terdapat pada al-jibillah(konstitusi)-nya yang diciptakan oleh Allah sejak
lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan (‘âdah) manusia yang
berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas
yang diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi
menjadi suatu tingkah laku lahiriah dan ada juga yang masih terpendam.Definisi
terakhir inilah yang lebih lengkap, karena khuluq mencakup kondisi lahir
dan batin manusia.
Term khulq selain diungkap dua kali dalam Al-Qur`an (QS. al-Qalam:4;
al-Syu'ara:137), juga merupakan term "akhlak" yang digunakan Nabi
Muhammad untuk menjelaskan misi kerasulannya: "Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR. Malik bin Anas dari Anas bin Malik).
Dalam psikologi Islam, istilah akhlak sesungguhnya identik dengan syakhshiyyah
Islamiyyah, yang sama-sama memiliki arti karakter, karena istilah apapun
yang disandingkan dengan Islam maka akan terikat oleh nilai baik-buruk.
Bentuk Karakter dalam Psiko-sufistik
Desain karakter Psikosufistik Islam dapat diturunkan dari
tiga pola; yaitu (1) diturunkan dari domain akhlak dalam trilogi ajaran Islam, dan
tidak mencakup domain akidah dan syariah (ibadah-muamalah); (2) diturunkan dari
keselurusan domain dari ajaran Islam, mencakup akidah/iman, syariah/islam dan
akhlak/ihsan; (3) diturunkan dari perilaku yang memiliki kemiripan, yang serupa
tapi tak sama.
Pertama, karakter diturunkan dari ajaran akhlak, yakni
bagian esoteris dari komponen ajaran Islam. Sebagaimana kita ketahui bahwa
komponen Islam yang terdiri atas akidah (keimanan), syariah (ibadah dan
mu’amalah) dan akhlak (etika). Pola ini tidak melibatkan akidah dan syariah
sebagai konstruks dalam karakter, namun hanya akhlak saja. Akhlak merupakan
permulaan tasawwuf, sedang tasawuf merupakan puncak akhlak. Melalui pola ini,
bentuk-bentuk karakter Islam dibagi dua bagian, yaitu:
- Karakter terpuji (akhlaq mahmudah). Bentuk karakter ini seperti sabar, syukur, ikhlas, qana’ah, rendah hati (tawadhu’), jujur (sidq), dermawan (jud), amanah, pemaaf, lapang dada, dan sebagainya.
- Karakter tercela (akhlaq madzmumah). Bentuk karakter ini seperti gampang marah (ghadhab), kufur nikmat, riya’, rakus (thama’),sombong (takabur), dusta (kidb), pelit (syukh), khianat, dendam, dengki, dan sebagainya.
Dua karakter tersebut merupakan kebalikan atau lawan yang
jelas, baik dilihat dari perilaku eksoteris maupun esoterisnya, seperti sabar
versus marah, syukur versus kufur, ikhlash versus riya’, qana’ah versus thama’,
tawadhu’ versus takabur, jujur versur dusta dan seterusnya. Karena perbedaan
itu jelas maka model karakter ini mudah diukur.
Sebagai contoh penggunaan karakter sabar dalam
penelitian, langkah-langkah operasional yang harus dilakukan adalah (1)
penelusuran definisi konseptual yang digali dari al-Qur’an, Sunnah ataupun
pendapat para ulama’, lalu disimpulkan dalam satu konstruks definisi yang
jelas; (2) Penentuan definisi operasional untuk mempermudah pengukuran; (3)
menentukan blue print yang memuat aspek/dimensi variabel dan indikatornya,
berikut penentuan skala favorable atau unfavorable; (4) pembuatan kuesioner
sesuai ketentuan yang berlaku.
Kedua, karakter diturunkan dari semua aspek dalam
ajaran Islam, meliputi rukun iman (akidah), rukun islam (syariah) dan rukun
ihsan (akhlak). Pola karakter ini integratif yang tidak membedakan antara
perilaku eksoteris dan esoteris. Dengan pola ini tidak akan terjadi split
personality, yang mana hatinya beriman kepada Allah Swt tetapi karakternya
bertentangan dengan apa yang diperintahkan. Desainnya sebagai berikut (Mujib,
2006):
1.
Domain iman membentuk karakter mu’min, yang mencakup enam bentuk (rukun iman):
- Karakterrabbani/ilahi dengan indikatornya 99 al-asma al-huna.
- Karaktermalaki dengan indikatornya sifat-sifat malaikat, atau 10 macam sesuai dengan nama dan tugas-tugas malaikat
- Karakterqur’ani dengan indikatornya nilai-nilai asasi dalam al-Qur’an
- Karakter rasuli dengan indikatornya empat sifat rasul, atau sesuai dengan mu’jizatnya
- Karakteryawm qiyamah dengan indikatornya implikasi keimanan terhadap hari kiamat.
- Karakter taqdiri dengan indikatornya ketentuan dan aturan terhadap taqdir anfusi, kauni, dan qur’ani.
2.
Domain islam membentuk karakter muslim, yang mencakup lima bentuk (rukun islam) (Mujib, 2006):
- Karakter musyahadatain dengan indikatornya implikasi kesaksian syadahat kepada Allah dan syahadat rasul.
- Karakter mushalli dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari shalat.
- Karakter sha’im dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari puasa.
- Karakter muzakki dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari zakat.
- Karakter hajji dengan indikatornya implikasi atau hikmah dari haji.
3.
Domain ihsan membentuk karakter muhsin, yang mencakup multi bentuk (rukun ihsan) (Mujib, 2006 dan Ibn Qayyim, 1992, Mahmud, tt):
- Tingkatan permulaan (bidâyah), meliputi kesadaran (al-yaqzhah), taubat (al-tawbah), introspekti (al-muhâsabah), kembali ke jalan Allah (al-inâbah), berfikir (al-tafakkur), berzikir (al-tadzakkur), menjaga diri (al-i’tishâm), lari dari keburukan menuju ke jalan Allah (al-firâr), latihan spiritual (al-riyâdhah), dan mendengar dengan suara hati (al-sima’).
- Tingkatan pintu-pintu masuk (abwâb), meliputi kesedihan (al-huzn), ketakutan (al-khawf), takut (al-isyfaq minhu), kekhusyuan (al-khusyû’), rendah diri di hadapan Allah (al-ikhbat), zuhud (al-zuhud), menjaga diri (al-warâ’), ketekunan (al-tabattul), harapan (al-rajâ`), dan kecintaan (al-raghbah).
- Tingkatan pergaulan (mu’amalah), meliputi pemeliharaan diri (al-ri’âyah), menghadirkan hati kepada Allah (al-murâqabah), kehormatan (al-hurmah), ketulusan (al-ikhlâsh), pendidikan (al-tahdzib), kontinue (al-istiqamah), tawakkal (al-tawakkal), pelimpahan wewenang (al-tafwîdh), keterpercayaan (al-tsiqah) dan penyerahan (al-taslîm).
- Tingkatan etika (akhlâq), meliputi sabar (al-shabr), rela (al-ridhâ), berterima kasih (al-syukur), malu (al-haya`), jujur (al-shidq), mementingkan orang lain (al-itsâr), kerendahan hati (al-tawadhu’) dan kejantanan (al-futuwah).
- Tingkatan pokok (ushûl), meliputi tujuan (al-qashd), tekad (al-‘azm), hasrat (al-irâdah), sopan santun (al-adab), keyakinan (al-yaqîn), keintiman (al-`uns), mengingat (al-dzikr), butuh rahmat (al-faqr) dan merasa kaya materi (al-ghani)
- Tingkatan terapi (adwiyah), meliputi baik (al-ihsân), ilmu (al-‘ilm), hikmah (al-hikmah), pandangan batin (al-bashir), firasat (al-firâsah), kehormatan (al-ta’zhîm), ilham (al-ilhâm), ketenangan (al-sakinah), ketentraman (al-thuma’ninah) dan cita-cita (al-himmah).
- Tingkatan keadaan (ahwâl), meliputi cinta (al-mahabbah), cemburu (al-ghyrah), rindu (al-syawq), kegoncangan (al-qalq), haus (al-‘athasy), suka cita (al-wijd), keheranan (al-dahasy), kilat (al-barq) dan cita-rasa (al-dzawq).
- Tingkatan kewalian (walâyah), meliputi sadar setelah memperhatikan (al-lahazhah), waktu (al-waqt), jernih (al-shafâ`), gembira (al-surûr), rahasia (al-sirr), nafas (al-nafs), keterasingan (al-ghurbah), tenggelam (al-gharq) dan kesanggupan hati (al-tamakkun).
- Tingkatan hakekat (haqâ`iq), meliputi ketersingkapan (al-mukâsyafah), penyaksian (al-musyâhadah), keterlihatan (al-mu’âyanah), hidup (al-hayah), ketergengaman (al-qabdh), keterbentangan (al-basth), mabuk (al-sukr), lupa (al-shahw), ketersambungan (al-ittishâl), dan keterpisahan (al-infishâl).
- Tingkatan puncak (nihâyah), meliputi pengetahuan yang gaib (al-ma’rifah), peniadaan materi (al-fanâ`), penetapan ruhani (al-baqâ`), pembuktian (al-tahqîq), mendapatkan eksistensi (al-wujûd), pengosongan (al-tajrid), ketersendirian (al-tafrîd), penyatuan (al-jam’u) dan pentauhidan (al-tawhîd).
Ketiga, karakter diturunkan dari kemiripan perilaku nafs
muthma’innah dan nafs ammarah. Dilihat dari perilaku eksoterisnya,
dua nafs ini mirip dan sulit dibedakan, bahkan kalau dilakukan
pengukuran hampir tiada beda. Perbedaan baik-buruk dalam pengukuran justru
terlihat pada niat atau perilaku esoterisnya yang sulit diukur. Contoh karakter
memberi hadiah versus menyuap, kedua karakter ini perilaku eksoterisnya sama
walaupun perilaku soterisnya berbeda. Hal itu berbeda dengan pengukuran seperti
karakter jujur (shidq) yang jelas-jelas berbeda dengan dusta (kidb).
Ibnu Qayyim al-Jawziyah (1992) dalam “Kitab al-Ruh”
menjelaskan sekitar 50 karakter yang memiliki kemiripan, walaupun nilainya
berbeda. Di antara karakter itu adalah:
Tabel : Perbedaan nafs Muthmainnah dan
nafs Ammarah
No
|
Nafs
Muthma’innah
|
Nafs
Ammarah
|
1
|
Rendah
hati (tawadhu’)
|
Menghinakan
diri (muhanah)
|
2
|
Dermawan
(judd)
|
Boros
(isyraf)
|
3
|
Kewibawaan
(mahabah)
|
Sombong
(kibr)
|
4
|
Berani
(syaja’ah)
|
Nekat
(jar’ah)
|
5
|
Hemat
(iqtishad)
|
Pelit
(syukhkh)
|
6
|
Waspada
(ihtiraz)
|
Buruk
sangka (su’u zhan)
|
7
|
Firasat
(firasah)
|
Prasangka
(zhann)
|
8
|
Hadiah
(hadiah)
|
Suap
(riswah)
|
9
|
Memaafkan
(‘afw)
|
Menghinakan
(dzull)
|
10
|
Pengharapan
(raja’)
|
Angan-angan
(tamanni)
|
11
|
Menceritakan nikmat (tahadus)
|
Membangga-banggakan
(tafakhur)
|
12
|
Lembut
hati (riqqah al-qalb)
|
Mengeluh
(jaz’u)
|
13
|
Hati-hati
(ikhtiyat)
|
Bimbang
(waswas)
|
14
|
Nasehat
(nasihah)
|
Cercaan
(ta’nib)
|
15
|
Bersegerah
(mubadarah)
|
Terburu-buru
(ijlah)
|
16
|
Dll.
|
Dll.
|
Mendesaian
Karakter Mahasiswa Pendekatan Psiko-sufistik
Urgensi
desain karakter mahasiswa ini adalah agar mahasiswa dapat menyelesaikan proses
kuliah dengan sukses, yang tidak saja memperoleh ilmu tetapi juga perilaku
(amal) yang yang santun. Paduan dua hal ini akan membawa hidupnya bahagia di
dunia dan akhirat. Karakter mahasiswa setidak-tidaknya meliputi tiga dimensi,
yaitu personal-religius, sosial-religius dan profesional-religius. Term
riligius menyertai seluruh dimensi karakter karena sumber utama karakter
berasal dari agama, terutama dari ajaran tasawuf, meskipun tidak mengabaikan
karakter yang bersumber dari tradisi masyarakat. Tiga dimensi karakter
mahasiswa itu harus dijalankan dengan pendekatan sistem. Artinya, efektifitas
dimensi karakter satu sangat tergantung pada pelaksanaan dimensi karakter yang
lain.
Karakter personal-religius adalah karakter yang
menyangkut kualitas perilaku individu sebagai mahluk individual. Bentuk-bentuk
karakter ini adalah sabar (dapat mengendalikan diri);
syukur (mudah berterima kasih); ridha (rela apa yang diperoleh); tawadhu’
(rendah diri dan tidak arogan); qana’ah (menerima kenyataan); tawakkal
(menyerahkan diri); zuhud (tidak meterialis); wara’ (menghindarkan diri dari
yang syubhat atau haram); raja’ (optimisme); al-haya’ (malu berbuat jelek);
shidq (jujur); ikhlas (tanpa pamrih dan penuh dedikasi); itsar (menanggalkan
egoisme); istiqamah (kontinue); husn al-dzan (positive thingking), dan fathanah
(memiliki visi yang cerdas).
Karakter sosial-religius
adalah karakter yang menyangkut kualitas perilaku individu sebagai mahluk
sosial yang berfungsi dalam interaksi dan komunikasi interpersonal. Bentuk-bentuk
karakter ini adalah amanah (terpercaya dan tanggungjawab,); tabligh (transparan
dan akuntabilitas); musyawarah; keadilan; ukhuwah (egaliter); ta’awun (kerja
sama); tawazun (perimbangan); tasamukh (teleran), takaful (saling menanggung),
dan penyesuaian diri yang baik, sehingga dirinya tidak merasa teralienasi di
lingkungan kerjanya. Penyesuaian diri mengandung arti menahanan ego dan intres
pribadi menuju pada kepaduan, loyalitas, partisipasi dan identifikasi, sehingga
tercapai kemashlahatan bersama (QS. al-Nisa’:32 dan al-Hujurat:10)
Karakter profesional-religius
adalah karakter yang menyangkut kualitas perilaku individu sebagai mahluk
profesional yang ditekuni, yang dalam konteks ini sebagai mahasiswa. Bentuk-bentuk
karakter ini mengikuti prinsip 3-M, yaitu: Mutjahid
(kreatif, produktif, responsif dan dinamik); Mujaddid (modernis dan
refomis); dan Mujahid (daya juang yang tinggi dalam bekerja).
Sebagai penutup, pada kesempatan ini saya ingin mengajukan rekomendasi, yang dimaskud adalah pengembangan kurikulum di Perguruan Tinggi tidak
semata-mata pada domain kognitif, yang dapat mencerdasarkan intelektual
mahasiswa semata, tetapi juga dibarengi dengan pengembangan kurikulum yang
berbasis domain afektif dan psikomatorik, yang karenanya melahirkan kecerdasan
emosional, sosial, dan kinestetik. Walaupun demikian tidaklah cukup. Sebagai
Perguruan Tinggi yang unggul dalam pengembangan daya intuisi dan tradisi
tasawuf, tidak ada salahnya jika pengembangan kurikulumnya disertakan domain dzawqiyah, yang mampu mengasah dan mengembangkan cita rasa keagamaan, spiritual
dan ketuhanan. Tentu saja kegiatan rutin (wadaif) seperti zikir,
wirid, istighasah, muhasabah dan sebagainya merupakan bagian penting dalam
pengembangan diri mahasiswa, karena dengan demikian, semua potensi diri dapat
teraktualkan dengan baik.
Daftar Rujukan
Al-Maktabah al-Syamilah, versi 28 Gb
Amin, Ahmad, al-Akhlaq, Cairo:
Dar al-Kutub al-Mishriyah, 1929
Al-Ghazalî, Abu Hamid Muhammad, Ihyâ`
Ulûm al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Hanafî, Abu Su’ud ibn Muhammad ’Imad, Tafsir Abî
Sa’ud, Riyadh: Maktabah Riyadh, tt
Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlâq",
Bandung: Mizan, 1994
Ibnu Qayyim al-Jawziyyat, Syams al-Din
ibn ‘Abd Allah, Madarij al-Salikin bayn Manazil Iyyaka Na’budu wa
Iyyaka Nasta’in, Cairo: Dar al-Fikr, 1992
-----, al-Rûh fî
al-Kalâm ‘alâ Arwâh al-Amwât wa al-Ahyâ` bi al-Dalâ`il min
al-Kitâb wa al-Sunnah wa al-Âtsâr wa
Aqwâl al-’Ulamâ`, Beirût: Dâr
al-Fikr, 1992
Iskandar, Yul, Test
Personaliti, Jakarta: Yayasan Dharma Graha, 2002, h.58-70
Al-Jurjawî, Syarif Ali, Kitâb al-Ta’rîfât, Beirut: Dâr al-Kutub
al-‘Ilmiyat, 1988
Mahmud, Abd al-Qadir, al-Falsafah al-Shufiyah fi al-Islam; Mashadiruha wa
Nazhriyatuha wa Makanatuha min al-Dîn wa al-Hayah, Arab: Dar al-Fikr
al-‘Arabi, tt
Muhaimin, Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Kawasan
dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Prenada Media, 2005
Mujib, Abdul dan Jusuf
Mudzakkir, Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2002,
h. 22-33
Mujib, Abdul, Fitrah dan Kepribadian Islam, Jakarta:
Darul Falah, 1999
-----,Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2006
Nasr,
S.H. dan Oliver Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy,
London:Routledge, l996, h. 644
Rajab, Manshur Ali, Ta'ammulât fî Falsafat al-Akhlâq, Mesir: Maktabat al-Anjalû al-Mishr, 1961
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian,
Jakarta: Rajawali, 1990
Zarqânî, Sayid
Muhammad, Syarkh al-Zarqânî ‘ala Muwaththa' al-Imâm Mâlik, Beirut: Dâr
al-Fikr, tt.
No comments:
Post a Comment